2 September 2013

Kontroversi Pergantian Nama Jalan Medan Merdeka

 
Gubernur Jakarta, Joko Widodo memiliki rencana yang cukup mencenggangkan. Wacana perubahan nama jalan yang berada di sekitar Monas (Monumen Nasional) tepatnya, rencana perubahan Jalan medan merdeka menjadi nama pahlawan nasional diantaranya :
  • Jalan Medan Merdeka Selatan diganti menjadi Jalan Soekarno; 
  • Jalan Medan Merdeka Utara menjadi Jalan Mohamad Hatta
  • Jalan Merdeka Barat menjadi Jalan Soeharto dan 
  • Jalan Merdeka Timur menjadi Jalan Ali Sadikin.
Alasan pergantian nama jalan tersebut mengingat adanya kebutuhan untuk mengapresiasi jasa para pahlawan. Usulan tersebut dilakukan oleh panitia 17 yang diantaranya adalah Jimly Asshidiqie, Mooryati Soedibyo, Ketua MPR Sidharto Danusubroto dan dan masyarakat mengusulkan agar ada pemberian nama jalan menggunakan nama Soekarno, Mohamad Hatta, dan Soekarno-Hatta di Jakarta.
Meski masih menjadi wacana dan diskusi mengenai keperluan perubahan nama ini, tentu saja direspon pro dan kontra di masyarakat. JJ Rizal, Budayawan asal UI (Universitas Indonesia) mendukung adanya perubahan nama medan merdeka sebagai bentuk apresiasi terhadap pahlawan nasional. Meski demikian, dia menolak adanya penamaan Soeharto dan Ali Sadikin
Seperti yang dilangsir oleh berbagai media, Jalan Merdeka Utara akan berubah menjadi Jalan Soekarno, Jalan Merdeka Selatan menjadi jalan Moh Hatta, Jalan Merdeka Timur menjadi Jalan Soeharto dan Jalan Merdeka Barat menjadi Jalan Ali Sadikin. Namun, Panitia 17 menyepakati hanya dua jalan yang diubah yakni Jalan Merdeka Utara dan Selatan.
Tokoh Partai PAN Teguh Juwarno menolak rencana perubahan nama tersebut. Ia beranggapan perubahan nama itu jelas ‘menghilangkan’ sejarah yang melatar belakangi penamaan jalan medan merdeka.
Medan Merdeka memiliki sejarah panjang dalam kemerdekaan bangsa. Ada latarbelakang yang melingkupi penamaan jalan tersebut. Soekarno yang kala itu yang memberikan nama Medan Merdeka bertujuan untuk simbolisasi bagi negara Indonesia yang kala itu baru merdeka sebagai kebanggaan rakyat Indonesia.
Simbolisasi itu kemudian diperkuat dengan rencana pembangunan Monas (Monumen Nasional) 1961. Monumen yang selalu mengingatkan akan perjuangan bangsa. Kontroversi ini, mengajak penulis untuk melihat sisi historical dari Jalan Medan Merdeka. Jauh sebelum penamaan Medan Merdeka, pada abad 18, Hindia Belanda yang dahulu berpusat di Kota Tua memindahkan pusat pemerintahannya ke Jakarta Pusat (Weltevreden).
Terkait pemindahan pusat kota tersebut, membuat pemerintah Belanda, membangun berbagai fasilitas pendukung lainnya. Salah satunya adalah membuat dua lapangan utama yakni Lapangan Banteng (Waterloopein) dan lapangan Kerbau (Buffelsveld pada 1809).
Pada awal abad 19 lapangan Banteng menjadi lapangan utama yang difungsikan untuk masyarakat berinteraksi, bersosialisasi, berkuda maupun untuk upacara dan parade. Lapangan Banteng menjadi pusat berkumpul masyarakat.
Sementara lapangan kerbau (Buffelsveld) pada Pemerintahan Daendels menamakan Champs de Mars menjadi lapangan latihan militer. Seiring berjalannya waktu dan peralihan pemerintahan dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles berganti nama menjadi Lapangan Raja (Koningsplein). Perubahan nama itu seiring dengan dihuninya sebuah istana baru di dekat lapangan yang sekarang dikenal dengan istana Merdeka.
Pembangunan di sekitar lapangan tersebut mulai digalakan seperti fasilitas olahraga, atletik dan stadion. Sementara, penduduk pribumi menamai tempat tersebut sebagai lapangan gambir. Di lapangan Gambir pada 1906 untuk memperingati ulang tahun Ratu Wilhelmina diselenggarakan pasar Malam. Pasar Malam inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Pekan Raya Jakarta (cukup memiliki alasan jika kemudian Jokowi mengatakan bahwa PRJ merupakan pesta rakyat.
Hingga 1942 pada masa penduduk Jepang, lapangan ini berganti nama menjadi Lapangan IKADA yang merupakan singkatan Ikatan Atletik Djakarta. Pada bulan 19 September 1945 dalam rangka memperingati satu bulan kemerdekaan negara, Soekarno mengelar pidato di lapangan IKADA yang melibatkan ribuan rakyat Indonesia. Dalam pidatonya tersebut Soekarno membulatkan tekad perjuangan untuk kemerdekaan Negara.
Jika menilik sejarah panjang dari penamaan Medan Merdeka tersebut terlihat, bahwasannya, lokasi ini tidak hanya persoalan penamaan semata, melainkan merupakan wilayah perebutan pusat kekuasaan dan pemerintahan.
Bagi rakyat Indonesia, penguasaan lokasi ini merupakan perjuangan untuk merebut kemerdekaan secara mutlak sekaligus menyingkirkan penindasan dan penjajahan yang dialami rakyat Indonesia. Pidato Soekarno yang berisikan tentang pembulatan tekad untuk menjadi negara yang berdaulat ini, terus menyemai dan mengingatkan bagi sejarah panjang kemerdekaan bangsa.
Simbol inilah yang kemudian dilekatkan pada lokasi yang berada tidak jauh dari Istana Merdeka. Komplek lapangan dengan ruas jalan yang melingkupinya diberikan nama Medan Merdeka. Menurut Penulis, penamaan nama Medan Merdeka meletakkan simbol perjuangan yang merujuk pada perjuangan rakyat Indonesia. Sementara usulan pergantian nama dengan merujuk pada penghargaan Founding Father negara justru menyempitkan makna di balik sejarah panjang penamaan Medan Merdeka tersebut. Karena jelas, kemerdekaan direbut berdasarkan keringat dan darah rakyat, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwasannya, kedua tokoh tersebut memiliki kontribusi besar bagi kemerdekaan bangsa dan negara ini. Menurut hemat penulis, jika kebutuhan penghargaan dan penghormatan bagi para pahlawan tetap dibutuhkan, bisa saja Gubernur mengganti nama jalan lain selain medan merdeka yang memiliki nilai sejarah tinggi. 
 
 
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar