Jenderal Besar adalah pangkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang perwira TNI Angkatan Darat. Pemberian pangkat ini hanya untuk perwira-perwira yang sangat berjasa. Selebihnya, pangkat Jenderal (4 bintang) yang biasanya dicapai oleh perwira-perwira tinggi. Pangkat ini ditandai dengan lima bintang emas di pundak. Pangkat ini sepadan dengan Laksamana Besar di TNI Angkatan Laut dan Marsekal Besar di TNI Angkatan Udara.
Dalam sejarah TNI Angkatan Darat, hanya terdapat 3 orang yang diberi kehormatan menggunakan pangkat ini atas jasa-jasanya yang sangat besar. Mereka yang resmi menjadi Jenderal Besar pada tanggal 1 Oktober 1997 adalah sbb:
Soedirman
Dalam sejarah perjuangan
Republik Indonesia,
ia merupakan Panglima yang pertama dan termuda. Pada usia yang masih cukup
muda, yaitu 31 tahun, Soedirman telah menjadi seorang jenderal. Selain itu, ia
juga dikenal sebagai pejuang yang gigih. Meskipun ia sedang menderita penyakit
paru-paru parah, tetap berjuang dan bergerilya bersama para prajuritnya untuk
melawan tentara Belanda pada Agresi Militer II.
Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman lahir di
Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916. Ia berasal dari keluarga
sederhana. Ayahnya seorang pekerja di pabrik gula Kalibagor Banyumas dan ibunya
keturunan Wedana Rembang. Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah
Taman Siswa. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke HIK (sekolah guru)
Muhammadiyah, Solo tetapi tidak sampai tamat. Selama menempuh pendidikan di sana, ia pun turut serta
dalam kegiatan organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di
sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Ia kemudian mengabdikan dirinya menjadi
guru HIS Muhammadiyah, Cilacap dan pemandu di organisasi Pramuka Hizbul Wathan
tersebut.
Pada jaman penjajahan Jepang
, Soedirman bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Pasca Indonesia
merdeka dari penjajahan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di
Banyumas. Kemudian beliau diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya setelah
menyelesaikan pendidikannya. Ia lalu menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah
TKR (Tentara Keamanan Rakyat) terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima
Angkatan Perang Republik Indonesia
(Panglima TNI). Perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA
Belanda dari bulan November sampai Desember 1945 adalah perang besar pertama
yang ia pimpin. Karena ia berhasil memperoleh kemenangan pada pertempuran ini,
Presiden Soekarno pun melantiknya sebagai Jenderal.
Soedirman meninggal pada
tanggal 29 Januari 1950 karena penyakit tuberkulosis parah yang ia derita.
Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.
Abdul Haris Nasution
Jenderal Besar TNI Purn. Abdul Haris Nasution (lahir di Kotanopan,
Sumatera Utara, 3 Desember 1918 – meninggal di Jakarta, 6 September 2000) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang
merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan
30 September, namun yang menjadi korban adalah putrinya Ade Irma
Suryani Nasution.
Beliau dikenal
sebagai ahli perang gerilya. Pengalamannya sebagai ahli perang gerilya datang
setelah persetujuan Renville 17 Januari 1948. Saat itu pasukan Siliwangi hijrah
ke Jawa Tengah. Nasution saat itu sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang.
Tentara RI
ketika itu memperkirakan Belanda akan mengulangi agresi militer I. Nasution pun
menyusun konsep perlawanan rakyat semesta dengan inti perang gerilya.
Pada agresi militer II,
Nasution diangkat sebagai Panglima Tentara di Jawa. Bermarkas di sebuah desa di
Prambanan dan Kulonprogo, Nasution mengeluarkan berbagai instruksi pelaksanaan
perang gerilya. Setelah menjadi KSAD, Nasution sempat dinonaktifkan akibat
peristiwa 17 Oktober 1952. Nasution diaktifkan kembali pada 1955 dan berjuang
melawan berbagai pemberontakan.
Jenderal Nasution dikenal
sebagai pengarang buku produktif. Dia banyak menulis buku di antaranya 11 jilid
buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia.
Bukunya Pokok-Pokok Gerilya diterjemahkan ke berbagai bahasa asing. Konon,
Vietcong belajar dari buku Nasution saat perang melawan Amerika Serikat di
Vietnam.
Soeharto
Jenderal Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto (lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal
di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun) adalah Presiden Indonesia yang
kedua (1967-1998), menggantikan Soekarno.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan
Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30
September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab
dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari
500.000 jiwa.
Dia dipuji sebagai ahli
strategi militer. Beberapa strategi militernya yang menonjol antara lain pada
tahun 1949, di bawah komandonya Tentara Nasional Indonesia melakukan serangan
dan menguasai kota Yogyakarta
dari tangan Belanda selama 6 jam, yang dikenal dengan Serangan Oemoem 1 Maret.
Keberhasilan serangan ini
menunjukkan kepada internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia masih ada dan
memiliki kemampuan tempur untuk melawan agresi Belanda yang ingin menguasai RI,
dan tidak mau mengakui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Pada tahun 1963 saat
pembebasan Irian Barat, Pak Harto menjabat sebagai Panglima Komando Mandala di
masa kepemimpinan Presiden Soekarno). Pak Harto juga mengukir jasa besar ketika
ia memegang kendali sebagai Penglima Mandala.
Dengan kedudukannya, ia berhasil menjalankan operasi militer untuk pembebasan Irian Barat dari cengkraman penjajahan Belanda, sehingga sejak 1 Mei 1963 wilayah tersebut kembali ke pangkuan RI.
Dengan kedudukannya, ia berhasil menjalankan operasi militer untuk pembebasan Irian Barat dari cengkraman penjajahan Belanda, sehingga sejak 1 Mei 1963 wilayah tersebut kembali ke pangkuan RI.
Pada tahun 1965, saat
peristiwa G30S sebagai Panglima Kostrad, Pak Harto berperan dalam mengambilalih
situasi keamanan. Peristiwa itu juga melambungkan nama Pak Harto hingga
kemudian menjabat sebagai presiden RI. Kemampuan sebagai ahli strategi militer
itu membuat kariernya cepat menonjol. Pak Harto menjabat sebagai presiden
hingga 1998, setahun setelah dianugerahi jenderal besar. Dia jatuh setelah
memimpin sejak 1966. Setelah kejatuhannya, banyak yang meragukan peran-perannya
dalam strategi militer termasuk saat Serangan Oemoem 1 Maret. Beberapa versi
menyebut, serangan itu adalah andil Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Dirangkum dari beberapa sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Jenderal_Besar
http://id.wikipedia.org/wiki/Jenderal_Besar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar