Ternyata Indonesia memiliki 6 istana kepresidenan + 1 istana istana kepresidenan yang tak terkenal. Istana-istana ini
tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jakarta, Bogor,
Cipanas, Yogyakarta, dan Bali.
Istana Merdeka dan Istana Negara
Gedung Agung Yogyakarta
Saat ini
Istana Merdeka dan Istana Negara
Foto Istana Merdeka (dulu dan sekarang)
Foto Istana Negara (dulu dan sekarang)
Istana Negara dan Istana Merdeka merupakan dua buah bangunan
utama yang luasnya 6,8 hektare, dikelilingi oleh sejumlah bangunan yang sering
digunakan sebagai tempat kegiatan kenegaraan. Dua bangunan utama adalah Istana Merdeka yang menghadap
ke Taman Monumen Nasional (Monas) di Jalan Medan Merdeka
Utara dan Istana Negara yang menghadap ke Sungai Ciliwung di Jalan Veteran. Sejajar dengan Istana Negara ada pula Bina Graha.
Sedangkan di sayap barat antara Istana Negara dan Istana Merdeka, ada Wisma Negara.
Pada awalnya di kompleks Istana di Jakarta ini
hanya terdapat satu bangunan, yaitu Istana Negara. Gedung yang mulai dibangun 1796 pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten
dan selesai 1804
pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes
Siberg ini semula merupakan rumah peristirahatan luar kota milik
pengusaha Belanda, J A Van Braam.
Kala itu kawasan yang belakangan dikenal dengan nama Harmoni memang
merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia
Baru.
Pada tahun 1820 rumah peristirahatan J A Van Braam ini disewa dan
kemudian dibeli (1821)
oleh pemerintah kolonial untuk digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan
serta tempat tinggal para gubernur jenderal bila berurusan di Batavia
(Jakarta). Para gubernur jenderal waktu itu
kebanyakan memang memilih tinggal di Istana Bogor
yang lebih sejuk. Tetapi kadang-kadang mereka harus turun ke Batavia, khususnya untuk menghadiri pertemuan
Dewan Hindia, setiap Rabu.
Rumah J A
Van Braam dipilih untuk kepala koloni, karena Istana Daendels di Lapangan
Banteng belum selesai. Tapi setelah diselesaikan pun gedung itu
hanya dipergunakan untuk kantor pemerintah.
Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, beberapa
peristiwa penting terjadi di gedung yang dikenal sebagai Istana Rijswijk (namun resminya disebut Hotel van den
Gouverneur-Generaal, untuk menghindari kata Istana) ini. Diantaranya
menjadi saksi ketika sistem tanam paksa atau cultuur stelsel
ditetapkan Gubernur Jenderal Graaf van den Bosch. Lalu penandatanganan Persetujuan Linggarjati pada 25 Maret
1947, yang pihak Indonesia
diwakili oleh Sutan Syahrir
dan pihak Belanda diwakili oleh H.J. van Mook.
Pada mulanya bangunan seluas 3.375 m2
berarsitektur gaya
Yunani
Kuno ini bertingkat dua. Tapi pada 1848 bagian atasnya dibongkar; dan bagian depan lantai bawah
dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan hasil
perubahan 1848
inilah yang bertahan sampai sekarang tanpa ada perubahan yang berarti.
Sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, saat
ini Istana Negara menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat
kenegaraan, antara lain pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan
musyawarah dan rapat kerja nasional, kongres bersifat nasional dan
internasional, dan jamuan kenegaraan.
Karena Istana Rijswijk mulai sesak, pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge tahun 1873 dibangunlah istana
baru pada kavling yang sama, yang waktu itu dikenal dengan nama Istana Gambir. Istana yang
diarsiteki Drossares pada
awal masa pemerintahan RI sempat menjadi saksi sejarah penandatanganan naskah
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh
Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Waktu itu RI
diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono
IX, sedangkan kerajaan Belanda diwakili A.H.J Lovinnk, wakil tinggi mahkota Belanda
di Indonesia.
Dalam upacara yang mengharukan itu bendera Belanda
diturunkan dan Bendera Indonesia
dinaikkan ke langit biru. Ratusan ribu orang memenuhi tanah lapangan dan
tangga-tangga gedung ini diam mematung dan meneteskan air mata ketika bendera
Merah Putih dinaikkan. Tetapi, ketika Sang Merah Putih menjulang ke atas dan
berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan: Merdeka!
Merdeka! Sejak saat itu Istana Gambir dinamakan Istana Merdeka.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan oleh kerajaan
Belanda, pada 28 Desember 1949 Presiden
Soekarno
beserta keluarganya tiba dari Yogyakarta dan untuk pertama kalinya mendiami Istana Merdeka.
Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus
di Istana Merdeka pertama kali diadakan pada 1950.
Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang sampai
masa pemerintahan Republik Indonesia, sudah lebih dari 20 kepala pemerintahan dan kepala
negara yang menggunakan Istana Merdeka sebagai kediaman resmi dan pusat
kegiatan pemerintahan negara.
Sebagai pusat pemerintahan negara, kini Istana
Merdeka digunakan untuk penyelenggaraan acara-acara kenegaraan, antara lain
Peringatan Detik-detik Proklamasi, upacara penyambutan tamu negara, penyerahan
surat-surat kepercayaan duta besar negara sahabat, dan pelantikan perwira muda
(TNI dan Polri).
Bangunan seluas 2.400 m2 itu terbagi dalam beberapa
ruang. Yakni serambi depan, ruang kredensial, ruang tamu/ruang jamuan, ruang
resepsi, ruang bendera pusaka dan teks proklamasi. Kemudian ruang kerja, ruang
tidur, ruang keluarga/istirahat, dan pantry (dapur).
Sepeninggal Presiden Soekarno, tidak ada lagi
presiden yang tinggal di sini, kecuali Presiden Abdurrahman
Wahid dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden
Soeharto yang menggantikan Soekarno memilih tinggal di Jalan Cendana. Tapi
Soeharto tetap berkantor di gedung ini dengan men-set up sebuah ruang kerja
bernuansa penuh ukir-ukiran khas Jepara, sehingga disebut sebagai Ruang Jepara
serta lebih banyak berkantor di Bina Graha.
Istana Bogor
Foto Istana Bogor
Istana Bogor terletak di Jalan Ir. H. Juanda
No. 1, Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Bogor, Jawa Barat. Istana ini berdiri di atas
tanah seluas 28,86 hektar dan berada di ketinggian 290 meter dari permukaan
laut. Uniknya, di halaman istana yang luas ini terdapat 591 rusa totol yang
dipelihara. Selain itu, halaman istana ini juga ditanami 346 jenis pepohonan.
Menurut data kepustakaan, Istana Bogor ini terdapat 37 bangunan.
Beberapa bangunannya memiliki fungsi penting. Misalnya, Gedung Induk yang
terdiri dari delapan ruang, yaitu Ruang Garuda, Ruang Teratai, Ruang Film,
Ruang Makan, Ruang Kerja Presiden, Ruang Perpustakaan, Ruang Famili dan Kamar
Tidur, serta Ruang Tunggu Menteri. Ada
pula Gedung Utama Sayap Kiri, Gedung Utama Sayap Kanan, dan Paviliun I-IV.
Istana Bogor dahulu bernama Buitenzorg
atau Sans Souci yang berarti "tanpa kekhawatiran".
Sejak tahun 1870 hingga 1942,
Istana Bogor merupakan tempat kediaman resmi dari 38 orang Gubernur Jenderal
Belanda dan 1 orang Gubernur Jenderal Inggris.
Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Van Imhoff
terkesima akan kedamaian sebuah kampung kecil di Bogor (Kampung Baru), sebuah
wilayah bekas Kerajaan Pajajaran yang terletak di hulu Batavia.
Van Imhoff mempunyai rencana membangun wilayah tersebut sebagai daerah
pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal.
Istana Bogor dibangun pada bulan
Agustus 1744
dan berbentuk tingkat tiga, pada awalnya merupakan sebuah rumah peristirahatan,
ia sendiri yang membuat sketsa dan membangunnya dari tahun 1745-1750, mencontoh
arsitektur Blehheim Palace, kediaman Duke Malborough, dekat
kota Oxford
di Inggris.
Berangsur angsur, seiring dengan waktu perubahan-perubahan kepada bangunan awal
dilakukan selama masa Gubernur Jenderal Belanda
maupun Inggris (Herman Willem Daendels dan Sir Stamford
Raffles), bentuk bangunan Istana Bogor telah mengalami berbagai
perubahan. sehingga yang tadinya merupakan rumah peristirahatan berubah menjadi
bangunan istana paladian dengan luas halamannya mencapai 28,4 hektar dan luas
bangunan 14.892 m².
Namun, musibah datang pada tanggal
10 Oktober
1834 gempa bumi
mengguncang akibat meletusnya Gunung Salak
sehingga istana tersebut rusak berat.
Pada tahun 1850, Istana Bogor
dibangun kembali, tetapi tidak bertingkat lagi karena disesuaikan dengan
situasi daerah yang sering gempa itu. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Albertus Jacob Duijmayer van Twist
(1851-1856) bangunan lama sisa
gempa itu dirubuhkan dan dibangun dengan mengambil arsitektur Eropa abad ke-19.
Pada tahun 1870, Istana Buitenzorg
dijadikan tempat kediaman resmi dari Gubernur Jenderal Hindia
Belanda. Penghuni terakhir Istana Buitenzorg itu adalah Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachourwer
yang terpaksa harus menyerahkan istana ini kepada Jenderal Imamura, pemeritah pendudukan Jepang.
Pada tahun 1950, setelah masa
kemerdekaan, Istana Kepresidenan Bogor mulai dipakai oleh pemerintah Indonesia, dan resmi menjadi salah satu dari
Istana Presiden Indonesia.
Pada tahun 1968 Istana Bogor resmi
dibuka untuk kunjungan umum atas restu dari Presiden Soeharto.
Arus pengunjung dari luar dan dalam negeri setahunnya mencapai sekitar 10 ribu
orang.
Sebelumnya Istana Bogor dilengkapi
dengan sebuah kebun besar, yang dikenal sebagai Kebun Raya
Bogor namun sesuai dengan kebutuhan akan pusat pengembangan ilmu
pengetahuan akan tanaman tropis, Kebun Raya Bogor dilepas dari naungan istana
pada tahun 1817.
Bangunan
dan ruangan di Istana Bogor
Istana Bogor mempunyai bangunan
induk dengan sayap kiri serta kanan. Keseluruhan kompleks istana mencapai luas
1,5 hektar.
Bangunan induk Istana Bogor
terdiri dari:
- Bangunan induk istana berfungsi untuk menyelenggarakan acara kenegaraan resmi, pertemuan dan upacara
- Sayap kiri bangunan yang memiliki enam kamar tidur digunakan untuk menjamu tamu negara asing
- Sayap kanan bangunan dengan empat kamar tidur hanya diperuntukan bagi kepala negara yang datang berkunjung.
- Pada tahun 1964 dibangun khusus bangunan yang dikenal dengan nama Dyah Bayurini sebagai ruang peristirahatan presiden dan keluarganya, bangunan ini termasuk lima paviliun terpisah.
- Kantor pribadi Kepala Negara
- Perpustakaan
- Ruang makan
- Ruang sidang menteri-menteri dan ruang pemutaran film
- Ruang Garuda sebagai tempat upacara resmi
- Ruang teratai sebagai sayap tempat penerimaan tamu-tamu negara
Foto Gedung Agung Yogyakarta
Istana kepresidenan yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal dengan sebutan “Gedung Agung” atau “Gedung Negara”. Nama ini berkaitan dengan fungsi dari gedung utama istana tersebut, yaitu sebagai tempat penerimaan tamu-tamu agung.
Istana ini berada di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan
Gondoman, Kota Yogyakarta, berada pada ketinggian 120 mdlp. Kompleks Istana ini menempati lahan seluas 43.585 m².
Masa Hindia Belanda
Gedung utama kompleks istana ini
mulai dibangun pada Mei
1824 yang diprakarsai oleh
Anthony
Hendriks Smissaerat, Residen Yogyakarta ke-18 (1823-1825) yang menghendaki
adanya "istana" yang berwibawa bagi residen-residen Belanda
sedangkan arsiteknya adalah A.Payen.
Karena adanya Perang Diponegoro
atau Perang Jawa
(1825-1830) pembangunan gedung
itu tertunda. Pembangunan tersebut diteruskan setelah perang tersebut berakhir
yang selesai pada 1832.
Pada 10 Juni
1867, kediaman resmi
residen Belanda itu ambruk karena gempa bumi. Bangunan baru pun didirikan dan selesai
pada 1869.
Bangunan inilah yang menjadi gedung utama komplek Istana Kepresidenan
Yogyakarta yang sekarang disebut juga Gedung Negara.
Pada 19 Desember
1927, status administratif
wilayah Yogyakarta sebagai karesidenan
ditingkatkan menjadi provinsi di mana Gubernur menjadi penguasa tertinggi.
Dengan demikian gedung utama menjadi kediaman para gubernur Belanda di Yogyakarta sampai masuknya Jepang.
Masa Ibukota Republik
Pada 6 Januari
1946, "Kota Gudeg" ini
menjadi ibu kota baru Republik Indonesia yang masih muda dan istana itu berubah menjadi
Istana Kepresidenan, tempat tinggal Presiden
Soekarno
beserta keluarganya, sedangkan Wakil
Presiden Mohammad Hatta tinggal di gedung yang sekarang
ditempati Korem 072/Pamungkas. Sejak itu Istana Kepresidenan Yogyakarta menjadi
saksi peristiwa penting diantaranya pelantikan Jenderal Sudirman
sebagai Panglima Besar TNI pada 3 Juni 1947
dan sebagai pucuk pimpinan angkatan perang Republik Indonesia pada 3 Juli
1947.
Agresi Militer Belanda II
Pada 19 Desember
1948, Yogyakarta diserang
oleh tentara Belanda dibawah pimpinan Jenderal Spoor, Presiden, Wakil
Presiden dan para pembesar lainnya diasingkan ke luar Jawa dan baru kembali ke
Istana Yogyakarta pada 6 Juli 1949.
Sejak 28 Desember
1949, yaitu dengan
berpindahnya Presiden ke Jakarta,
istana ini tidak lagi menjadi tempat tinggal sehari-hari Presiden.
Kantor & kediaman resmi Presiden
Istana Yogyakarta atau Gedung Agung, sama halnya dengan istana Kepresidenan lainnya yaitu sebagai kantor dan kediaman resmi Presiden Republik Indonesia. Selain itu juga sebagai tempat menerima atau menginap tamu-tamu negara. Sejak 17 Agustus 1991, istana ini digunakan sebagai tempat memperingati Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dan penyelenggaraan Parade Senja setiap tanggal 17 yang dimulai 17 April 1988.
Kompleks bangunan
Istana Yogyakarta terdiri atas enam bangunan utama yaitu Gedung Agung (gedung utama), Wisma Negara, Wisma Indraphrasta, Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretawu dan Wisma Saptapratala. Gedung utama yang selesai dibangun pada 1869 sampai sekarang bentuknya tidak mengalami perubahan. Ruangan utama yang disebut dengan Ruang Garuda berfungsi sebagai ruangan resmi untuk menyambut tamu negara atau tamu agung yang lain. Selain wisma-wisma tersebut sejak 20 September 1995 komplek Seni Sono seluas 5.600 meter persegi, yang terletak di sebelah selatan, yang semula milik Departemen Penerangan, menjadi bagian Istana Kepresidenan ini.
Monumen di Istana
Di depan gedung utama, di halaman istana, ada sebuah monumen batu andesit setinggi 3,5 meter yang disebut Dagoba, yang berasal dari Desa Cupuwulatu, di dekat Candi Prambanan.
Istana Tampak Siring
Foto Istana Tampak Siring
Istana Tampaksiring adalah istana yang dibangun setelah Indonesia
merdeka, yang terletak di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten
Gianyar, Bali.
Nama Tampaksiring berasal dari dua buah kata bahasa Bali,
yaitu "tampak" dan "siring", yang
masing-masing bermakna telapak dan miring. Konon, menurut sebuah
legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali,
nama itu berasal dari bekas tapak kaki seorang raja yang bernama Mayadenawa. Raja ini pandai dan
sakti, namun sayangnya ia bersifat angkara murka. Ia menganggap dirinya dewa
serta menyuruh rakyatnya menyembahnya. Akibat dari tabiat Mayadenawa itu, Batara
Indra marah dan mengirimkan bala tentaranya. Mayadenawa pun lari masuk
hutan. Agar para pengejarnya kehilangan jejak, ia berjalan dengan memiringkan
telapak kakinya. Dengan begitu ia berharap para pengejarnya tidak mengenali
jejak telapak kakinya.
Namun demikian, ia dapat juga tertangkap oleh para
pengejarnya. Sebelumnya, ia dengan sisa kesaktiannya berhasil menciptakan mata
air yang beracun yang menyebabkan banyak kematian para pengejarnya setelah
mereka meminum air dari mata air tersebut. Batara Indra kemudian menciptakan
mata air yang lain sebagai penawar air beracun itu yang kemudian bernama "Tirta
Empul" (air suci). Kawasan hutan yang dilalui Raja
Mayadenawa dengan berjalan sambil memiringkan telapak kakinya itu terkenal
dengan nama Tampaksiring.
Istana ini berdiri atas prakarsa Presiden Soekarno yang
menginginkan adanya tempat peristirahatan yang hawanya sejuk jauh dari
keramaian kota, cocok bagi Presiden Republik Indonesia
beserta keluarga maupun bagi tamu-tamu negara.
Arsiteknya adalah R.M.Soedarsono dan istana
ini dibangun secara bertahap. Komplek Istana Tampaksiring terdiri atas empat
gedung utama yaitu Wisma Merdeka seluas 1.200 m dan Wisma Yudhistira
seluas 2.000 m dan Ruang Serbaguna. Wisma Merdeka dan Wisma
Yudhistira adalah bangunan yang pertama kali dibangun yaitu pada tahun 1957. Pada 1963 semua pembangunan
selesai yaitu dengan berdirinya Wisma Negara dan Wisma Bima.
Istana Cipanas
Foto Istana Cipanas
Istana Kepresidenan Cipanas bermula dari sebuah bangunan
yang didirikan pada tahun 1740 oleh pemiliknya pribadi, seorang tuan tanah
Belanda bernama Van Heots. Namun pada masa pemerintahan Hindia-Belanda,
tepatnya mulai pemerintahan Gubernur Jenderal G.W. Baron van Imhoff (1743),
karena daya tarik sumber air panasnya, dibangun sebuah gedung kesehatan di
sekitar sumber air panas tersebut. Kemudian, karena kharisma udara pegunungan
yang sejuk serta alamnya yang bersih dan segar, bangunan itu sempat dijadikan
tempat peristirahatan para Gubernur Jenderal Belanda.
Komisaris Jenderal Leonard Pietr Josef du Bus de
Gisignies, misalnya, tercatat yang paling senang mandi air belerang itu. Demikian
pula halnya dengan Carel Sirardus Willem Graaf van Hogendorp, sekretarisnya
(1820-1841). Selain itu Herman Willem Daendeles (1808-1811) dan Thomas Stanford
Raffles (1811-1816) pada masa dinasnya menempatkan beberapa ratus orang di
tempat tersebut; sebagian basar dari mereka bekerja di kebun apel dan kebun
bunga serta di penggilingan padi, di samping yang mengurus sapi, biri - biri,
dan kuda.
Secara fisik, sejak berdirinya hingga kini, perjalanan
riwayat Istana Cipanas banyak berubah. Secara bertahap, dari tahun ke tahun,
istana ini bertambah dan bertambah. Mulai dari tahun 1916, masih pada masa
pemerintahan Hindia-Belanda, tiga buah bangunan berdiri di dalam kompleks
istana ini. Kini ketiganya dikenal dengan nama Paviliun Yudhistira, Paviliun
Bima, dan Paviliun Arjuna.
Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1954 di masa
dinas Presiden I Republik Indonesia Soekarno, didirikan sebuah bangunan
mungil, terletak di sebelah belakang Gedung Induk. Berbeda dari gedung-gedung
lainnya, sekeliling dinding tembok luar serta pelataran depan dan samping
bangunan ini berhiaskan batu berbentuk bentol. Dengan mengambil bentuk hiasan
tembok serta pelatarannya itulah, nama gedung ini terdengar unik, yaitu Gedung
Bentol. (Bentol dari bahasa sunda; padanannya dalam bahasa Indonesia bentol
juga, seperti bekas gigitan nyamuk).
Sejak didirikannya pada masa pemerintahan Belanda, Istana
Kepresidenan Cipanas difungsikan sebagai tempat peristirahatan dan
persinggahan. Akan tetapi sekeliling alamnya yang amat indah menjadi daya tarik
tersendiri bagi para pengunjungnya, sehingga pada masa pemerintahan van Imhoff
itu, tempat persinggahan/peristirahatan sempat beralih fungsi. Karena kekuatan
sumber air panas yang mengandung belerang itu dan karena udara pegunungan yang
sejuk dan bersih, tempat ini pernah dijadikan gedung pengobatan bagi anggota
militer Kompeni yang perlu mendapat perawatan.
Dua puluh sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun
1983, semasa Presiden II Republik Indonesia, Soeharto, dua buah paviliun
lainnya menyusul berdiri, yaitu Paviliun Nakula dan Paviliun Sadewa.Istana Kepresidenan Cipans juga pernah difungsikan sebagai
tempat tinggal keluarga oleh beberapa keluarga Gubernur Jenderal Belanda. Yang
pernah menghuni bangunan itu adalah keluarga Andrias Cornelis de Graaf (yang
masa pemerintahannya 1926 -1931), Bonifacius Cornelius de Jonge (1931), dan
yang terakhir, yang bersamaan dengan datangnya masa pendudukan Jepang (1942),
adalah Tjarda van Starkenborg Stachourwer.
Setelah kemerdekaan Indonesia, secara resmi gedung
tersebut ditetapkan sebagai salah satu Istana Kepresidenan Republik Indonesia
dan fungsinya tetap digunakan sebagai tempat peristirahatan Presiden atau Wakil
Presiden Republik Indonesia beserta keluarganya.
Istana Kepresidenan Cipanas ini juga mencatat peristiwa
penting dalam sejarah garis haluan perekonomian Indonesia, yaitu bahwa pada
tanggal 13 Desember 1965, Ruang Makan Gedung Induk, pernah difungsikan sebagai
tempat kabinet bersidang dalam rangka penetapan perubahan nilai uang dari
Rp1.000,00 menjadi Rp1,00 tepatnya pada masa Presiden Republik Indonesia
Soekarno dan pada waktu Menteri Keuangan dijabat oleh Frans Seda.
Sesuai dengan fungsi Istana Kepresidenan Cipanas, tidak
digunakan untuk menerima tamu negara. Namun, pada tahun 1971, Ratu Yuliana pun
meluangkan waktunya untuk singgah di istana ini ketika berkunjung ke Indonesia.
Foto Pesanggrahan Pelabuhan Ratu
Istana ini memang kurang terkenal di kalangan masyarakat Indonesia
karena memang sangat jarang digunakan, termasuk juga oleh sang penggagasnya,
Presiden Soekarno. Karena fungsi utama bangunan ini memang dikhusususkan
sebagai tempat peristirahatan, maka fasilitas yang ada di bangunan ini pun
boleh dibilang sederhana bila dibandingkan dengan Istana Kepresidenan lainnya.
Sama halnya dengan Pesanggrahan ini, Istana Kepresidenan lainnya – selain Istana Kepresidenan Jakarta – juga umumnya difungsikan sebagai tempat peristirahatan. Bedanya, keempat istana itu memiliki fasilitas yang memadai dan sangat kondusif apabila ketika sedang beristirahat Presiden tetap ingin menggelar aktifitas kenegaraannya. Seperti yang sering dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pesanggrahan ini berdiri di atas lahan seluas 1500 meter persegi dan berlokasi di Desa Citepus, Pelabuhan Ratu ini. Apabila dilihat dari arah pintu masuk, rumah peristirahatan ini terlihat seperti bangunan berlantai satu. Namun, apabila dilihat dari arah laut, memiliki tiga lantai. Lantai paling atas disebut dengan Ruang Atas. Ruang ini terdiri dari ruang tamu dan ruang tidur yang berdinding kaca. Sedangkan di lantai dua adalah Ruang Bawah yang terdiri dari ruang makan tamu dan ruang kesenian. Dan lantai dasar yang merupakan ruang paling bawah terdiri dari dapur dan ruang pelayanan.
Pantai Pelabuhan Ratu sendiri terkenal karena merupakan perpaduan antara pantai yang curam dan landai, hempasan ombak serta hutan cagar alam. Mungkin karena lokasinya yang menjorok ke pantai inilah yang menarik perhatian Presiden Pertama RI Soekarno untuk menggagas pembuatan pesanggrahan ini.
Ketika Presiden Soekarno dan Ibu Hartini sedang meninjau proyek Hotel Samudera Beach di Pelabuhan Ratu pada tahun 1954, mereka mampir di bungalow yang diberi nama Vaya Con Dios dan Hawaii. Begitu melihat lahan yang dimiliki Mayor Mantiri ini, Bung Karno langsung tertarik dan berkeinginan untuk membelinya. Tapi sayang, sang pemilik tak ingin menjualnya. Namun akhirnya Vaya Con Dios ini dilepas oleh pemiliknya setelah Presiden Soekarno menawarkan “tukar guling” dengan lahan yang berseberangan dengan bungalow miliknya tersebut.
Menjelang matahari terbenam, Pesanggrahan buah karya tangan dingin R.M.Soedarsono dan F.Silaban ini merupakan lokasi terbaik yang terletak di sepanjang pantai Pelabuhan Ratu untuk melihat bentangan lautan dan langit biru. Rumah peristirahatan ini seolah-olah berada di tengah lengkung garis teluk yang dibingkai dengan pegunungan Jampang Kulon di sebelah Timur, dan pegunungan Cibareno di sebelah barat. Terdapat juga semacam anjungan pada ruang atas dan ruang bawah, untuk berdiri memandang lautan lepas dan menikmati pesona terbenamnya matahari.
Sama halnya dengan Pesanggrahan ini, Istana Kepresidenan lainnya – selain Istana Kepresidenan Jakarta – juga umumnya difungsikan sebagai tempat peristirahatan. Bedanya, keempat istana itu memiliki fasilitas yang memadai dan sangat kondusif apabila ketika sedang beristirahat Presiden tetap ingin menggelar aktifitas kenegaraannya. Seperti yang sering dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pesanggrahan ini berdiri di atas lahan seluas 1500 meter persegi dan berlokasi di Desa Citepus, Pelabuhan Ratu ini. Apabila dilihat dari arah pintu masuk, rumah peristirahatan ini terlihat seperti bangunan berlantai satu. Namun, apabila dilihat dari arah laut, memiliki tiga lantai. Lantai paling atas disebut dengan Ruang Atas. Ruang ini terdiri dari ruang tamu dan ruang tidur yang berdinding kaca. Sedangkan di lantai dua adalah Ruang Bawah yang terdiri dari ruang makan tamu dan ruang kesenian. Dan lantai dasar yang merupakan ruang paling bawah terdiri dari dapur dan ruang pelayanan.
Pantai Pelabuhan Ratu sendiri terkenal karena merupakan perpaduan antara pantai yang curam dan landai, hempasan ombak serta hutan cagar alam. Mungkin karena lokasinya yang menjorok ke pantai inilah yang menarik perhatian Presiden Pertama RI Soekarno untuk menggagas pembuatan pesanggrahan ini.
Ketika Presiden Soekarno dan Ibu Hartini sedang meninjau proyek Hotel Samudera Beach di Pelabuhan Ratu pada tahun 1954, mereka mampir di bungalow yang diberi nama Vaya Con Dios dan Hawaii. Begitu melihat lahan yang dimiliki Mayor Mantiri ini, Bung Karno langsung tertarik dan berkeinginan untuk membelinya. Tapi sayang, sang pemilik tak ingin menjualnya. Namun akhirnya Vaya Con Dios ini dilepas oleh pemiliknya setelah Presiden Soekarno menawarkan “tukar guling” dengan lahan yang berseberangan dengan bungalow miliknya tersebut.
Menjelang matahari terbenam, Pesanggrahan buah karya tangan dingin R.M.Soedarsono dan F.Silaban ini merupakan lokasi terbaik yang terletak di sepanjang pantai Pelabuhan Ratu untuk melihat bentangan lautan dan langit biru. Rumah peristirahatan ini seolah-olah berada di tengah lengkung garis teluk yang dibingkai dengan pegunungan Jampang Kulon di sebelah Timur, dan pegunungan Cibareno di sebelah barat. Terdapat juga semacam anjungan pada ruang atas dan ruang bawah, untuk berdiri memandang lautan lepas dan menikmati pesona terbenamnya matahari.
http://id.wikipedia.org/wiki/Istana_Presiden_Indonesia
http://www.presidenri.go.id/istana/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar