Dalam buku sejarah
yang ada di sekolah sudah mafhum rasanya bahwa sebelum Pancasila
seperti sekarang ini, ada tujuh kata (ejaan pada saat itu) yang
dihilangkan oleh para tokoh-tokoh pendiri bangsa ini. Tujuh kata itu
terdapat dalam sila pertama, yaitu Ketuhanan, dengan Menjalankan Syariat
Islam bagi para pemeluknya. Ada yang mengatakan bahwa ini merupakan
gentlement Agreement dari umat islam, karena bersedia ‘mengalah’ demi
terciptanya kesatuan bangsa. Ini didasari ada rumor yang berkembang
bahwa jikalau tujuh kata itu tidak dihapus, maka wilayah Indonesia di
bagian timur akan memisahkan diri. Praktis setelah proklamasi
dikumandangkan, tanggal 18 Agustus 1945 setelah rapat dan dialog yang
alot oleh kelima tokoh yakni, Wahid Hasyim, Ki Bagoes Hadikusuma, Kasman
Singodimejo, Muhammad Hatta, dan Teokoe Mohammad Hasan akhirnya
disetujui penghapusan tujuh kata itu, tapi dengan catatan Ketuhanan
ditambahkan dengan Yang Maha Esa. Sementara itu ada sebagian orang yang
mengatakan bahwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu
sebagai pengkhianatan terhadap umat Islam oleh tokoh-tokoh nasionalis
yaitu Bung Karno dan Bung Hatta.
Kalau kita mengedepankan ego dan ‘ingin menang sendiri’ mungkin
penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta yang telah disepakati
tanggal 22 Juni 1945 itu adalah bentuk pengkhiantan Bung Karno dan Bung
Hatta kepada umat Islam. Alasannya karena Bung Hatta-lah yang
mengusulkan penghapusan itu, setelah menerima telepon dari seseorang
bahwa Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Indonesia, kalau tujuh
kata itu tidak dihapus.
Jujur saya tidak sependapat dengan orang, golongan atau kelompok
yang menyatakan seperti itu bahkan saya mengecam orang-orang yang
menuduh Bung Karno, Bung Hatta atau tokoh-tokoh yang lainnya berkhianat
kepada umat Islam. Saya kadang heran, mengapa begitu entengnya mereka
mengatakan bahwa tokoh-tokoh itu adalah pengkhianat umat Islam. Melihat
kenyataan hampir orang seperti Bung Karno dan Bung Hatta harus merelakan
usia mudanya dihabiskan di dalam penjara guna memperjuangkan agama,
bangsa dan negaranya.
Yang membuat saya geli adalah ada sebagian orang yang mengatakan
bahwa mengapa Indonesia sampai sekarang ini masih terpuruk dan semakin
terpuruk? Karena disebabkan penghapusan tujuh kata itu. Seandainya tujuh
kata itu dibiarkan tentu Indonesia tidak akan menjadi negeri seperti
ini. Pernyataan seperti ini bisa dibalik, bagaimana kalau tujuh kata itu
tetap dipertahankan? Mungkin wilayah Indonesia tidak akan seperti
sekarang ini, karena banyak wilayah-wilayah yang akan memisahkan diri
dari negera kesatuan republic Indonesia, bahkan keamanan dan ketentraman
hidup di Indonesia akan sangat mengkhawatirkan karena adanya
persinggungan dan pertentangan sana-sini. Tapi berkat tangan dingin,
kebijaksanaan dan kearifan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pendiri
bangsa ini, yang rela menghapus tujuh kata itu, demi kemenangan dan
cita-cita bersama yakni tercapainya Indonesia merdeka, berdaulat adil
dan makmur. Akhirnya keutuhan dan persatuan tetap terjaga.
Apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa ini seperti Bung
Karno, Bung Hatta, Wahid Hasyim, Ki Bagoes Hadikusuma, Kasman
Singodimejo yang bersedia menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta,
saya yakin bukannya tanpa dasar dan pertimbangan yang matang. Orang
seperti Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikuma, Kasman Singodimejo adalah
orang-orang yang mapan pengetahuan agamanya, begitu pula Bung Karno dan
Bung Hatta, meskipun dikenal sebagai golongan nasionalis tetapi begitu
religius dalam setiap pengambilan keputusannya, misalnya seperti
pemilihan tanggal kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dalam pengakuannya,
Bung Karno mengatakan bahwa sejak di Saigon sudah merencanakan
proklamasi pada 17 Agustus 1945 karena diyakini angka 17 merupakan angka
yang istimewa, Al-Qur’an ditunkan pada 17 Ramadhan dan shalat dalam
sehari semalam juga terdiri dari 17 rakaat. Dan dipihnya hari mulia pada
Jum’at Legi.
Kalau kita menengok sejarah, sebenarnya apa yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh pendiri bangsa ini dengan kesediannya menghapus tujuh kata
dalam piagam Jakarta itu adalah meniru bentuk dakwah yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW yang dalam berdakwah tidak terlalu kaku dalam
mempertahankan teks-teks dan formalitas lahiriah, selama tujuan pokok
yang hendak dicapai terpenuhi. Dalam perjanjian Hudaibiyah misalnya,
Nabi Muhammad saw bersedia menghapus kata Bismillahirrahmanirrahim dalam
teks tertulis perjanjian itu. Karena ditolak oleh Suhail bin Amr dari
pihak Makkah jika menggunakan kata tersebut. Meskipun para sahabat
termasuk Ali bin Abi Thalib yang ditunjuk sebagai sekretaris untuk
menulis perjanjian keberatan dengan keputusan Nabi Muhammad saw, tapi
Nabi saw tetap pada keputusannya menghapus kata itu, bahkan yang
disepakati ditulis dalam teks perjanjian itu hanya Muhammad bin Abdullah
yang sebeumnya ditulis Muhammad Rasulullah yang juga ditolak oleh
Suhail.
Tidak bijak rasanya kalau menuduh orang-orang seperti Bung Karno,
Bung Hatta dan tokoh-tokoh lain yang berjuang untuk kemerdekaan dan
bersatunya bangsa yang ditakdirkan oleh Tuhan sebagai bangsa plural
dengan ‘pengkhianat’ gara-gara hanya menghapus tujuh kata itu. Lihatlah
dengan kacamata bijak, agar kita tidak mudah menyalahkan, bahkan menuduh
yang sebenarnya kita sendiri tidak mengetahuinya. Kiranya langkah yang
ditempuh oleh mereka adalah langkah yang tepat dan bijak.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar