14 Juni 2013

Biografi Irjen Pol (Purn) Drs.Sidarto Danusubroto, SH - Ajudan Terakhir Bung Karno yang Kini Menjadi Ketua MPR RI



Biodata
Riwayat Pendidikan 
- SDN Yogya 1948
- SMPN 1 Yogya 1952
- SMA Negeri VI Yogyakarta 1955
- Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta 1962
- Ujian Negara Sarjana Hukum 1965
- SESKOPOL 1969-1970
- SESKOGAB Bandung 1977

Riwayat Pekerjaan
- Ajudan Presiden (1967-1968)
- Kapolres Tangerang (1974-1975)
- Kadispen Polri (1975-1976)
- Kepala Interpol (1976-1982)
- Kepala satuan Komapta Polri (1982-1985)
- Wakapolda Jawa Barat (1985-1986)
- Kapolda Sumbagsel (1986-1988)
- Kapolda Jawa Barat (1988-1991)

Riwayat Jabatan Pada Lembaga Pemerintahan
- Kadispen Polri (1975 - 1976)
- Kepala Interpol (1976 - 1982)
- Kepala Komapta (1982 - 1985)
- Kapolda Sumbagsel (1986 - 1988)
- Kapolda Jawa Barat (1988 - 1991)
- Anggota DPR-RI (1999-2014)
- Ketua MPR-RI (2013-2014)

Pengalaman/Jabatan Organisasi
- Pramuka (organisasi kepanduan)
- Ketua OSIS SMAN V & VII, Yogya (1954)
- Pemimpin Umum Majalah ISIK (1969)
- Ketua Umum Keluarga Pelajar SMA VI Yogyakarta
- Senat PTIK / Senat Seskopol (1960-1961)
- Pengurus Harian Litbang PDI-P


POSISI SEBAGAI AJUDAN TERAKHIR BUNG KARNO
Irjen Pol (Purn) Drs.Sidarto Danusubroto, SH adalah ajudan terakhir Bung Karno. Sehari setelah peringatan meninggalnya (haul) Bung Karno, 21 Juni 2010, dia menuturkan kembali pengalamannya mendampingi proklamator itu. Banyak cerita menarik yang belum terungkap.
Pandangan mata Sidarto Danusubroto menerawang ketika mulai bercerita mengenai sosok yang sangat dikaguminya itu, Soekarno. Pria kelahiran 11 Juni 1936 tersebut tidak akan melupakan peristiwa yang dialami pada 10 Desember 1967.
Saat itu, Bung Karno memberinya sebuah buku berjudul Sukarno An Autobiography karya Cindy Adams. Sampul buku tersebut berwarna merah dengan foto Bung Karno yang berjas putih, berpeci, sambil tertawa lebar. Ketika memberikan buku itu, Bung Karno yang tengah berada di ujung kejatuhannya menyampaikan wejangan kepada Sidarto.
Bung Karno menyatakan bahwa dirinya bisa dikucilkan, dijauhkan dari keluarga, bahkan ditahan dan lama-lama akan mati sendiri. ’’Tapi, catat ya To, (Sidarto, Red), jiwa, ide, ideologi, semangat, tak dapat dibunuh,’’ ungkap Sidarto menirukan ucapan Bung Karno saat ditemui di kediamannya, Jalan Kemang Utara, Jakarta Selatan, Rabu (22/6/2010).
Bung Karno mengutip kalimat yang diucapkannya itu dari filsuf Jerman, Freili Grath, yang dalam bahasa aslinya berbunyi, ’’Man totet den Geist Nicht.’’ Sidarto sempat tertegun mendengarnya. Secara spontan, dia lantas meminta Bung Karno untuk menuliskan ucapannya tersebut di halaman depan buku yang baru diterimanya.
’’Waktu beliau bicara begitu, saya bilang, Pak (Soekarno, Red) tolong ditulis sekalian di situ. Maka, jadilah tulisan ini,’’ ujar Sidarto sambil menunjukkan buku ’’bersejarah’’ yang masih terawat baik itu.
Dengan nada bercanda, Sidarto menyatakan, coretan tangan Bung Karno itulah yang dijadikan salah satu materi kampanyenya saat pemilu legislatif lalu. Dia mencetak tulisan tersebut di panel baliho kampanyenya. Hebatnya, model kampanye itu manjur. Sidarto terpilih kembali jadi anggota DPR dari PDIP untuk periode ketiga sejak 1999.
Alumnus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta 1962 tersebut kembali terpilih dalam Pemilu 2009 dari dapil Jawa Barat VIII yang meliputi Kabupaten dan Kota Cirebon serta Kabupaten Indramayu. Meski sudah cukup umur, Sidarto masih terlihat bugar dan energik.
Dia memang berkesempatan dekat dengan Bung Karno. Sebab, sejak 6 Februari 1967, Sidarto yang kala itu berpangkat adjun komisaris besar polisi (AKBP) ditugasi menjadi ajudan Bung Karno. Dia menggantikan Kombes (pol) Sumirat yang ditahan pasca-Supersemar. Surat keputusan pengangkatan Sidarto ditandatangani Bung Karno pada 22 Februari 1967.
Baru tiga bulan Sidarto menjalankan tugas, situasi politik nasional yang tengah memanas mencapai klimaksnya. Pada 12 Maret 1967, keluar TAP MPRS XXXIII/MPRS/1967 yang melucuti kekuasaan eksekutif Bung Karno. Melalui TAP itu juga Soeharto diangkat jadi pejabat presiden.
Meski Soekarno sudah tidak mempunyai kekuasaan, Sidarto tetap tidak ditarik dari posisinya sebagai ajudan. Sewaktu menghadap pimpinan Polri, dia diperintah agar terus mendampingi Bung Karno. ’’Pemerintah memandang Bung Karno perlu didampingi ajudan. Jadi, saya melayani presiden yang ditahan,’’ tuturnya.
Tapi, untuk sementara, Soekarno yang diposisikan sebagai ’’presiden nonaktif’’ masih diperbolehkan tinggal di Istana Merdeka. Sampai suatu hari, sekitar Mei 1967, Bung Karno yang didampingi Sidarto yang baru saja pulang dari jalan-jalan keliling Jakarta dicegat dan dilarang masuk istana. ’’Saya ingat, beliau habis nyate (makan sate, Red) sama saya di pinggir Pantai Cilincing,’’ cerita Sidarto.
Karena tidak diperbolehkan masuk istana, Bung Karno langsung menuju kediaman Wisma Yaso (sekarang menjadi Museum Satria Mandala, Red) di Jalan Gatot Subroto. Karena mendadak, presiden pertama republik itu tidak sempat berkemas. ’’Barang-barang pribadi beliau sama sekali tidak bisa dibawa,’’ ungkap mantan Kapolda Sumbagsel (1986-1988) tersebut.
Terusir dari istana juga berarti kehilangan fasilitas protokoler, termasuk sekretaris presiden. Karena itu, Sidarto kemudian mendapat tugas tambahan baru, yakni jadi ’’sekretaris’’ Bung Karno. ’’Jadi, saya sempat jadi ajudan sekaligus sekretaris dadakan Bung Karno. Hasil ketikan saya ya kurang proporsional seperti ini,’’ katanya sambil menunjukkan sejumlah copy surat yang masih disimpan dengan rapi.
Sejak meninggalkan istana, sebagian besar surat Bung Karno malah ditandatangani Sidarto. Misalnya, surat yang ditujukan pada Pangdam VI Siliwangi Letkol Abas tertanggal 27 September 1967. Surat tersebut menginformasikan daftar nama para pekerja untuk penyelesaian rumah di Batu Tulis, Bogor.
Mengapa Bung Karno tidak menandatangani sendiri surat itu? ’’Ini kan soal teknis dan rutin dari presiden ke bawahan (Pangdam). Jadi, mungkin cukup ajudan saja yang menandatangani,’’ jelas pria kelahiran Pandeglang, 11 Juni 1936, itu.
Menurut Sidarto, tak lama setelah meninggalkan Istana Merdeka, Bung Karno tak ubahnya tahanan kota. Untuk mobilitas Jakarta-Bogor saja, Bung Karno harus mendapat izin tertulis dari Pangdam VI Siliwangi dan Pangdam V Djayakarta. Nah, tugas mengurus perizinan itu dibebankan ke pundak Sidarto.
’Jadi, tugas saya, bolak-balik mengurus exit permit dan entry permit. Jakarta-Bogor sudah kayak ke luar negeri saja,’’ ujar bapak lima anak itu sambil geleng-geleng kepala.
Pada penghujung Desember 1967, Bung Karno mulai berstatus tahanan rumah. Dia tak boleh lagi meninggalkan Wisma Yaso. Bahkan, keluarga dan kerabat sulit menemui Bung Karno. Untuk membesuk Bung Karno, mereka harus mendapat izin lebih dulu dari otoritas yang berwenang.
Dalam periode susah seperti itu, Sidarto kembali mendapat pengalaman yang tak terlupakan. ’’Saya disuruh ke sana-kemari mencari duit. Sebab, Bung Karno tidak pegang duit,’’ katanya.
Menurut dia, Bung Karno memang seorang negarawan yang genius. Namun, soal keuangan pribadi, dia tak begitu memperhatikan. Karena itu, saat jadi tahanan rumah, Bung Karno sering kehabisan uang pegangan maupun uang untuk biaya hidup sehari-hari.
’’Sewaktu disuruh mencari duit itulah, saya sempat bingung dari mana bisa memperolehnya. Sebab, orang-orang dekat Bung Karno sewaktu saya dekati malah lari semua. Mereka takut. Hanya satu-dua orang yang masih setia,’’ ujar Sidarto yang kini duduk di Komisi I DPR tersebut.
Suatu ketika, Bung Karno meminta Sidarto menemui Tukimin, mantan pejabat rumah tangga Istana Merdeka. Tanpa kesulitan berarti, Sidarto berhasil mendapatkan USD 10 ribu dari Tukimin.
Kesulitan justru terjadi saat hendak membawa uang itu ke Wisma Yaso. Sidarto takut digeledah penjaga, kemudian uangnya disita. Tak kehilangan akal, dia lalu memasukkan uang tersebut ke kaleng biskuit. Dia lantas menemui Megawati dan meminta putri Bung Karno itu membawakannya untuk Bung Karno. ’’Mbak Mega yang bawa masuk. Mbak Mega kan bisa beralasan mengunjungi ayahandanya,’’ kenang Sidarto.
Pada 23 Maret 1968, turun surat resmi dari Markas Besar Angkatan Kepolisian (saat ini Mabes Polri, Red) yang berisi penarikan Sidarto dari posisinya selaku ajudan Bung Karno. ’’Saat kondisi kesehatan Bung Karno semakin lemah, fungsi ajudan semakin tidak diperlukan. Yang lebih dibutuhkan adalah dokter dan perawat. Saya lalu diminta Panglima Angkatan Kepolisian (saat ini disebut Kapolri, Red) Soetjipto Joedodihardjo untuk ditarik,’’ jelasnya.
Meski dalam surat penarikan Sidarto masih disampaikan kemungkinan dikirimkan penggantinya, faktanya, ajudan baru itu tak pernah ada. Jadi, Sidarto tercatat sebagai ajudan terakhir Bung Karno.



POSISI SEBAGAI KETUA MPR RI (2013-2014)
Irjen Pol (Purn) Drs Sidarto Danusubroto, SH ditunjuk (diajukan) PDI Perjuangan untuk menggantikan posisi almarhum Taufiq Kiemas sebagai Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR). Politisi senior yang kerap dipanggil "opa" oleh para pengurus PDI Perjuangan itu diambil sumpahnya, Senin 8 Juli 2013.
Sekjen DPP PDI Perjuangan Sekjen DPP PDI Perjuangan (2010-2015) Tjahjo Kumolo mengatakan penunjukan Sidarto Danusubroto untuk menggantikan Ketua MPR (2009-2014) Taufiq Kiemas menjadi Ketua MPR disampaikan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam pertemuan silaturahmi dengan empat pimpinan dan ketua-ketua fraksi MPR di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, Kamis 4 Juli 2013. Penunjukan itu dilakukan setelah melalui pertimbangan matang. Tjahjo mengatakan keputusan itu kemudian disampaikan resmi melalui Fraksi PDI Perjuangan di MPR kepada Pimpinan MPR sesuai tata tertib.
Pertemuan itu juga dihadiri Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Sekjen DPP PDI Perjuangan (2010-2015) Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDI Perjuangan Puan Maharani, dan Ketua Fraksi PDI Perjuangan di MPR Yasona Laoly. Sidarto meneruskan masa tugas Ketua MPR (2009-2014) Taufiq Kiemas sebagai Ketua MPR sampai tahun 2014.
Penunjukan Sidarto sebagai Ketua MPR itu dituangkan dalam Surat Keputusan DPP PDIP tertanggal 3 Juli 2013 nomor 3981/in/dpp/VII/2013 untuk memenuhi Surat Pimpinan MPR nomor MJ020/1/2013 tanggal 19 Juni 2013 tentang pemberitahuan nama pengganti Ketua MPR yang ditandatangani oleh 4 Wakil Ketua MPR, yaitu Hajriyanto Y. Thohari, Melani Leimena, Ahmad Farhan Hamid dan Lukman Hakim Saifuddin.


Sumber :

http://syair79.wordpress.com/2010/06/27/ajudan-terakhir-bung-karno/ 
http://ajudanprotokoler.blogspot.com/2010/12/ajudan-terakhir-bung-karno.html 
http://id.wikipedia.org/wiki/Sidarto_Danu_Subroto 
http://www.mpr.go.id/blog/drs-sidarto-danusubroto-sh 
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/4201-ajudan-presiden-soekarno-jadi-ketua-mpr
http://www.jualbeliforum.com/biodata/304749-profil-sidarto-danusubroto-ketua-mpr-ri-baru.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar