14 Juni 2013

Sejarah Pemilihan Abang None Jakarta

Masayu Nilawati Saleh - None Jakarta 1969

Pada 30 Juni 2013 mendatang kalau tidak ada aral melintang final Pemilihan Abang dan None Jakarta 2013 akan digelar. Pemilihan Abang dan None Jakarta adalah kontes tahunan pemilihan duta wisata yang memiliki sejarah panjang di Indonesia. Banyak “alumnus” kontes ini baik mereka yang menjadi pemenang maupun bukan menjadi tokoh nasional, tidak saja di jagat hiburan, tetapi juga ekonomi dan politik.
Cikal bakalnya dimulai sejak 1968 ketika kegiatan itu bernama None Jakarta. Jika menilik sejarah, masa itu merupakan masa awal Orde Baru. Saat Indonesia untuk pertama kalinya menikmati stabilitas politik dan ekonomi. Pendapatan GNP penduduk Indonesia saat itu mengalami kenaikan sebesar 7 hingga 8 persen jauh dari masa sebelumnya. 
Gubernur DKI Jakarta waktu itu Ali Sadikin melakukan pembenahan terhadap tata kota, di tangan dinginnya Jakarta bertransformasi dari The Big Village menjadi Kota Metropolitan. Tidak hanya cukup pembangunan fisik, Bang Ali juga melakukan pembangunan budaya. Dia menyadari ketika pertama kali memerintah pada 1966 penduduk Jakarta masih 3,4 juta jiwa dan dari jumlah itu sekitar 78 persen adalah pendatang. Karena Jakarta adalah ibukota negara maka di tempat ini harus bisa diwujudkan seni budaya seluruh Indonesia. Oleh karena itu Pemeirntah DKI Jakarta membentuk BKS (Badan Kerjasama Seni dan Budaya). Dibentuk juga Dewan Kesenian Jakarta. Bersamaan dengan dibangunnya Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 1968.
Untuk Jakarta sendiri seni budaya Betawi, seperti tari topeng, lenong, ondel-ondel yang tadinya ada di kampung ditarik dan dihidupkan kembali. Abang dan None Jakarta ini tak lepas dari kebijakan budaya ini. Mulanya memang tidak ada Abang Jakarta. Awalnya hanya None Jakarta. Pada waktu itu Ali Sadikin memang melihat contoh kontes Ratu-ratu kecantikan di luar negeri.
Jadi mengapa saya tidak bisa memulai pemilihan None Jakarta? Dengan persyaratan, seperti ada dewan juri. Yang dinilai bukan hanya cantik rupanya, tetapi juga cantik otaknya, cantik kepribadiannya. Lalu setelah beberapa tahun dilengkapi dengan Abang Jakarta.
Kontes None Jakarta Pertama diadakan bertepatan dengan HUT Jakarta ke 441 pada 22 Juni 1968 di Miraca Sky Club, Sarinah. Waktu itu pesertanya hanya 36 orang. Yang terpilih sebagai None Jakarta ialah Riziani Malik. Hadiahnya berupa piala dari PT Arafat, tiket ke Paris dan seperangkat peralatan minum teh. Selain Rizani terdapat dua nama gadis yang kelak lebih mencuat namanya, yaitu Connie Sutedja (Pemenang ke III) dan Dewi Motik (Pemenang Harapan) .
Kontes None Jakarta berikutnya diadakan pada 22 juni 1969 juga di Miraca Sky Club Sarinah. Pesertanya meningkat menjadi 150 orang. Panitia melakukan seleksi hingga hanya 30 finalis. Saat itu pertama kali panitia menjual tiket kepada publik seharga Rp 6.000 per lembar. Dalam kontes kedua ini yang menjadi pemenang adalah Masayu Nilawati Saleh. Pemenang keduanya Linda Sjamsudin dan Jojo Mochtar. Hadiah yang diterima Masayu adalah tiket ke Kuala Lumpur dari KLM.
Cukup menarik dari latar belakangnya, Masayu Nilawati Saleh disebutkan sebagai seorang gadis yang sebetulnya tadinya tinggal di Tanjung Karang, Lampung yang waktu itu belum berusia 18 tahun. Ibunya asal Tasikmalaya dan ayahnya dari Palembang. Dia juga satu-satunya peserta dari luar Jawa dan masih sekolah di kelas satu SKKA Tanjung Karang. Namun dia mampu menguasai beberapa tarian daerah. Tugasnya sewaktu menjadi None antara lain menjadi duta Gubernur DKI Jakarta mengunjungi negara-negara dalam lingkungan ASEAN untuk menyampaikan surat persahabatan Bang Ali kepada para walikota di negara-negara itu. 
Baru pada 1971 Abang Jakarta mulai dikonteskan. Yang menjadi pemenang adalah Hamid Alwi dan menjadi None-nya adalah Tjike Soegiarto. Dalam kontes 1971 ini antara lain diikuti Poppy Dharsono yang waktu itu masih berusia 20 tahun. Menyimak harian Kompas pada waktu itu diceritakan pemilihan Abang dan None Jakarta 1971 dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama disaring 140 calon None dan 30 calon Abang di Arena Tertutup Taman Ismail Marzuki pada Kamis malam, 17 Juni dan Jumát malam 18 Juni. 
Para Calon None hanya memperagakan sejenis pakaian saja, yaitu mengenakan kain sarung dengan baju kebaya serta kain kerudung. Yang dinilai oleh para juri ialah kekhasan pakaian, termasuk kombinasi warna. Para Calon None harus menunjukkan luwesan berjalan, menaruh tas serta mengenakan kerudung. Penampilan kepribadiannya juga menjadi pertimbangan.
Agak berbeda dengan penilaian terhadap Calon Abang Jakarta. Mereka diminta berpencak di depan para juri. Pada malam pertama para Calon Abang ini berpakaian ala Djampang, namun ada pula yang tampil denagn pakaian lengkap serta pelayan hotel. Tetapi pada umumnya mereka tampil dengan golok di pinggang, kumis melintang jambang panjang, kain pelekat serta cangklong.
Para juri untuk None disebutkan antara lain Ibu Sud (Ketua), Ibu Azis saleh, Ibu Dahlan Nasir. Sementara Juri untuk Abang adalah Nafis Tadjri (Ketua), Maria Mardani, Connie Sutedja, SM Ardan. Dalam acara penyisihan itu para hadirin antara lain dihibur oleh Henny Purwonegoro, Broery diiringi oleh Band Adhidarma. 
Malam final 22 Juni 1971 dilaksanakan di Ramayana Room, Hotel Indonesia diikuti 30 Calon None Jakarta dan 15 Calon Abang Jakarta. Tjike Nugroho Sugiarto disebutkan menang dengan nilai 110,5, sementara Hamid Alwi menang dengan nilai 102,5. None Jakarta mendapatkan hadiah uang tunai Rp100 ribu, 1 Radio dari National Gobel, 1 Dinner Set , serta belanjaan senilai Rp100.000 dan PN Pertamina. Tjike juga mendapatkan kulkas, kain songket dari Dajang Sumbi, serta tiket ke Singapura. Sementara Abang Jakarta mendapatkan uang Rp100.000, 1 radio National Gobel dan belanja Rp100.000. 
Menurut Ali Sadikin lagi dengan adanya Kontes Abang dan None Jakarta sendiri dampaknya seni budaya Betawi dikenal tidak secara nasional tetapi juga oleh dunia luar. Manfaatnya bagi pariwisata besar. Kalau ada acara-acara mereka ditampilkan, Peserta Abang dan None Jakarta bukan hanya asli Jakarta, tetapi juga para pendatang. Ali Sadikin menekankan pada peserta bahwa mereka adalah orang Jakarta dan harus bangga menjadi warga Jakarta. 
Kontes serupa kemudian diikuti kota-kota lain seperti Bandung, Surabaya dan Manado. Bahkan era 1970-an berbagai kontes Ratu-ratuan bermunculan. Band-band populer melesat pada era ini seperti Koes Plus, Panbers, D’Lloyd, Favourite rata-rata muncul kalau tidak di akhir 1960-an, muncul di awal 1970-an. Fenomena yang menarik dan kebalikan era sebelumnya di mana hal-hal yang berbau Barat dipandang sebagai musuh pemerintah. 

Kehidupan Leissure
Jakarta pada 1971 sudah menunjukkan ciri-ciri Metropolitannya. Ali Sadikin dalam menyambut HUT Jakarta ke 444 di RRI dan TVRI menyebutkan taraf kehidupan rakyat Jakarta meningkat terus. Regional Income per kapita pada 1966 Rp6224,4 melompat ke angka Rp 14.974,8 pada 1967, lalu Rp31.151,5 pada 1968 dan Rp47.141,8 pada 1970.
Mungkin angka-angka yang disebutkan Ali Sadikin begitu fantastis, itu artinya setiap tahun peningkatan rata-rata 100%. Namun memang faktanya gaya hidup mengalami perubahan drastis yang tidak terbayang kan sebelumnya. Paling tidak ada sebuah diskotik populer yang disebut Tanamur (Tanah Abang Timur/14). Dalam harian Kompas disebutkan diskotik ini setiap Kamis malam menampilkan jazz jamsession. Yang disebutkan tampil adalah Mus Mualim pada 17 juni dan The Rollies pada 20 Juni 1971.
Sejumlah Nite Club sudah berdiri. Yang cukup populer antara lain Freista Nite Club di kawasan Hayam Wuruk, yang buka jam 20.00 hingga 02.00 pada Hari Minggu hingga Jumát. Namun pada Saptu buka antara jam 20.00 hingga 03.00. Dalam iklannya Friesta menyebutkan mereka menampilkan band remaja dari luar negeri bernama The Six Happy yang pernah tampil di Hongkong, Tokyo, Bangkok, Saigon dan Singapura. Nite Club terkenal lainnya adalah Flamingo. Cover charga pada waktu itu adalah Rp2000 per orang untuk hari biasa dan Rp2250 untuk malam minggu.
Pertumbuhan Nite Club adalah konsekuensi Jakarta menjadi kota industri, kota pergaulan dan kota jasa. Ali Sadikin membuat kebijakan untuk menarik para pedagang, pengusaha dan investor. Orang-orang ini kalau sudah malam membutuhkan tempat hiburan. Untuk itu perlu langkah agar Jakarta hidup 24 jam. Untuk imbangannya Pemerintah DKI Jakarta membangun Gelanggang Remaja di lima wilayah kota dan Balai Rakyat di setiap Kecamatan.
Sejumlah tempat rekreasi dibangun sekitar 1966, seperti Binaria, Ancol tidak saja wisata pantai tetapi juga didukung Drive-In Theater. Pada 1970-an awal nonton di Drive In adalah hiburan favorit warga Jakarta yang berduit. Lainnya adalah Taman Margasatwa, Ragunan yang menjadi tempat favorit bagi warga Jakarta dari kalangan menengah ke bawah.
Sejak 1968 tradisi pasar malam dihidupkan menjadi Jakarta Fair di kawasan Gambir. Di tempat ini juga terdapat Taman Ria Monas. Saya ingat masih kecil salah satu wahana yang mengasyikan di taman ini adalah naik monorel. Jakarta juga punya taman lain awal 1970-an yaitu Taman Ria Remaja dibuka pada 15 Agustus 1970. Sarana rekreasi yang dimiliki Taman Ria Remaja antara lain kereta mini, cawan sukaria, komedi ria, bus mini, tempat pemancingan. Namun saya lebih terkesan bahwa karena keberadaan Taman Ria inilah grup pelawak sandiwara Srimulat dikenal publik secara luas.


Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar